Personal blog of Dedeng Iskandar. Blog yang berisi materi ngaji penulis dan lainnya yang relevan. Boleh tanya-tanya di kolom komentar, atau juga diskusi (no debat). Request, Saran, dan Kritik yang membangun bisa disampaikan di kolom komentar. Salam Satu Hati, Ngaji.

Monday, November 30, 2009

Ilmu Kalam dalam Islam

Sejarah Munculnya Ilmu Kalam dalam Islam

Kematian khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan secara tragis melalui tangan para perusuh tahun 35 H telah menyebabkan terjadinya beberapa peristiwa yang mengguncang tubuh umat Islam. Salah satu di antaranya adalah perang Shiffien, 2 tahun setelah ‘Ali ibn Abi Thalib dibai’at jadi khalifah menggantikan ‘Utsman.

Perang besar antara kubu ‘Ali dengan kubu Mu’awiyah ibn Abi Sufyan itu, tidak hanya mengoyak umat Islam menjadi idak menyukai Mu’awiyah, dan penduduk Syiria tidak menyukai ‘Ali. Bukankah lebih baik kita copot keduanya dan kita angkat Abdullah ibn ‘Umar?”. ‘Amru segera menyetujui pendapat Abu Musa dan mengusulkan beberapa nama, tapi Abu Musa hadua kubu besar secara politis, tetapi juga melahirkan dua aliran pemikiran yang secara ekstrem selalu bertentangan yaitu Al-Khawarij dan Syi’ah. Misalnya Khawarij mengkafirkan dan menghalalkan darah ‘Ali setelah peristiwa, sementara Syi’ah belakangan mengkultuskan ‘Ali demikian rupa sehingga seolah-olah ‘Ali adalah manusia tanpa cacat. Sekalipun semula kedua aliran tersebut bersifat politik tapi kemudian untuk mendukung pandangan dan pendirian politik masing-masing, mereka memasuki kawasan pemikiran agama (baca: teologi)

Pada tahun 37 H Mu’awiyah, Gubernur Syria memberontak terhadap Amir al-Mu’minin ‘Ali ibn Abi Thalib. Pemberontakan itu meletus karena dalam suasana berkabung dan emosi yang meletup-letup karena pembunuhan ‘Utsman, ‘Ali mengeluarkan keputusan yang tidak strategis sebagai seorang kepala negara, yaitu pemecatan Mu’awiyah dari jabatan Gubernur Syria. Dengan pemecatan itu Mu’awiyah punya dua alasan untuk melawan ‘Ali. Tidak jelas mana yang lebih dominan, apakah karena ingin menuntut balas atas kematian ‘Ustman atau ingin mempertahankan jabatannya sebagai Gubernur.

Sebelum peperangan meletus, ‘Ali sudah mengirim Jarir ibn Abdillah al-Bajuli untuk berunding dengan Mu’awiyah. Tapi perundingan tidak berhasil mencegah peperangan karena tuntutan Mu’awiyah yang terlalu berat untuk dipenuhi oleh ‘Ali. Mu’awiyah menuntut dua hal: (1) ekstradisi dan penghukuman terhadap para pelaku pembunuhan Amir al Mu’minin ‘Utsman ibn ‘Afan; dan (2) pengunduran diri ‘Ali dari jabatan Imam (khalifah) dan dibentuk sebuah Syura untuk memilih khalifah baru.

Pengangkatan Ali sebagai penganti Usman ibn Affan meningalkan suatu persoalan yang meyebebakan terjadinya perseteruan antara Ali dan Muawiyah yang puncaknya melahirkan sebuah peperangan di antara keduanya yaitu perang shiffin. Pada peristiwa itu tentara Muawiyah nyaris mengalami kekalahan, namun kepiawaian seorang diplomat ulung bernama ‘Amru ibn ‘Ash dari pihak Mu’awiyah untuk memecah belah pasukan ‘Ali dengan mengangkat lembaran mushhaf Al-Qur’an dengan ujung tombak sebagai isyarat mohon perdamaian dengan bertahkim kepada Kitab Suci Al-Qur’an. Tiga Sejarawan Muslim besar, At-Thabari, Ibnu al-Atsir dan Ibnu Katsir menyebutkan peristiwa itu dalam kitab mereka masing-masing. Menurut ‘Amru, tawaran bertahkim kepada Al-Qur’an itu akan diterima oleh sebagian pengikut ‘Ali dan akan ditolak oleh yang lain. Akhir pertempuran tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan damai dan masing-pihak Ali diwakiliki oleh Abu Musa al-Asyari dan dari phak Muawiyah diwakili oleh Amr ibn al-‘ash sebagai juru runding (hakam).

Abu Musa adalah tokoh yang sudah terlibat dalam fase-fase pertama penaklukkan Iraq baik sebagai jenderal pasukan maupun gubernur Kufah dan Bashrah. Dia juga pernah menentang kebijakan ’Utsman dan dipilih oleh kelompok sebagai gubernur Kufah ketika mengusir gubernur tunjukan ‘Utsman, Sa’id ibn ‘Ash. Menurut Shaban, Abu Musa punya hubungan politik yang lama tidak tergoyahkan dengan kelompok. Sebaliknya ‘Ali meragukan loyalitas Abu Musa karena ‘Ali pernah memecat Abu Musa dari jabatannya karena kurang aktf dan loyal kepadanya. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu Abu Musa tidak ada dalam pasukan, karena dia memencilkan diri ke tanah Hijaz. Waktu utusan memberi tahu bahwa dia telah dipilih sepakai Hakam, Abu Musa berkomentar: Innâ lillahi wa innâ illaihi râji’un. Tidak jelas bagaimana menafsirkan komentar Abu Musa seperti itu. Yang jelas baik Abu Musa maupun ‘Amru adalah dua tokoh yang sangat mengenal daerah masing-masing. Abu Musa sangat kenal daerah Iraq dan ‘Amru sangat kenal dengan Syiria.

Perundingan di Daumah al-Jandal, Azruh itu berjalan cukup lama, sekitar enam bulan, mulai Shafar sampai Ramadhan tahun 37 H. tidak banyak yang dapat diketahui tentang apa saja yang dibicarakan dalam perundingan sehingga memerlukan waktu yang lama. Kalaupun ada masalah yang alot dibicarakan juga tidak jelas masalah apa itu. Di antara yang terungkap adalah keberhasilan ‘Amru meyakinkan Abu Musa bahwa Mu’awiyah sebagai wali ‘Utsman paling berhak dibanding siapapun untuk menuntut balas atas kematian ‘Utsman. Waktu ‘Amru membicarakan keterlibatan ‘Ali dalam pembunuhan ‘Utsman, Abu Musa tidak mau melayani. Dia mengajak ‘Amru membicarakan hal yang bisa menyatukan umat Muhammad. Kata Abu Musa : “Anda tahu, penduduk Iraq sama sekali tnya menyetujui Ibnu ‘Umar. Karena tidak tercapai kesepakatan siapa yang akan diangkat menjadi Khaifah, akhirnya disepakati menyerahkannya kepada permusyawaratan kaum Muslim.

Beberapa sumber kemudian menyebutkan kedua juru runding itu mengumumkan hasil kesepakatan mereka. Yang duluan bicara adalah Abu Musa, baru kemudian ‘Amru. Tapi kemudian ’Amru menghianati Abu Musa dengan secara sepihak mengukuhkan Mu’awiyah menjadi Khalifah tanpa menurunkannya terlebih dahulu seperti yang disepakati.

Mengapa kemudian kedudukan Mu’awiyah semakin kokoh di Syiria, bukan karena ‘Amru telah membai’ahnya, tapi karena memang’Ali tidak lagi punya kekuatan yang cukup untuk menggempur Mu’awiyah karena kemudian pasukan koalisinya menjadi lemah sesudah perang Shiffien, apalagi nanti setelah kelompok besar memisahkan diri yang kemudian dikenal dangan kelompok Khawarij. Sementara pendukung Mu’awiyah semakin solid, apalagi Mu’awiyah sudah mejadi Gubernur Syria semenjak zaman ‘Umar. Peristiwa itu telah melahirkan tiga aliran utama yaitu Syiah, Khawarij dan Murjiah.

Kaum Khawarij

Menurut Syahrastani, yang disebut Khârij, adalah siapa saja yang keluar dari (barisan) imam yang hak yang telah disepakati oleh jama’ah, baik ia keluar pada masa sahabat di bawah pimpinan al-Aimmah ar-Râsyiddîn atau pada masa tabi’in atau pada masa imam mana pun di setiap masa. Secara etimologis Syahrastani benar, tapi secara terminologi apalagi secara historis nama Khawarij hanya diberikan kepada kelompok yang keluar dari kubu ‘Ali seperti yang disebut di atas, dan disebut juga al-Harûriyah karena mereka pergi memisahkan diri ke Harura. Tapi dibanding dengan nama-nama lain yang dipanggilkan kepada mereka maka nama Khawarij lah yang paling umum bisa dipakaikan untuk semua kelompok pecahan Khawarij, sebab dalam perkembangan sekanjutnya kita akan lihat kelompok ini paling mudah memisahkan diri dari kelompok awalnya karena perbedaan pendapat yang kadang-kadang tidak prinsip. Khurûj sudah merupakan dustûr mereka. Dalam bahasa Inggris Khawarij ditulis Kharijites dan dialihbahasakan menjadi Seceders, Rebels.

Semakin lama kelompok yang meisahkan diri ke Harura semakin membesar, hingga bulan Ramadhan atau Syawal tahun 37 H jumlah mereka sudah mencapai 12.000 orang. Dan kamp mereka kemudian pindah ke Jukha, sebuah desa yang terletak di tepi barat sungai Tigris. ‘Ali berusaha berunding dengan mereka tapi tidak membuahkan hasil. Secara diam-diam sebagian mereka pergi meninggalkan Jukha, berencana pindah ke-Al-Madain tapi ditolak oleh Gubernur setempat. Akhirnya mereka pergi ke Nahrawan. Jumlah mereka berkumpul di Nahrawan mencapai 4000 orang di bawah pimpinan ‘Abbdullah ibn Wahab ar-Rasibi. Semula ‘Ali tidak menanggapi secara serius gerakan-gerakan orang Khawarij ini, sampai dia mendengar berita tentang kekejaman mereka terhadap orang-orang Islam yang tidak mendukung pendapat mereka. Di antara yang menjadi korban adalah ‘Abdullah ibn Khabbab, salah seorang putera sahabat Nabi. Abu Zahra mengutip kisah kematian putera Khabbab dari buku Al-Kâmil karya Al-Mubarrad sebagai berikut :

“Sekelompok Khawarij berjumpa pada suatu saat dengan seorang Muslim dan seorang Nasrani. Mereka membunuh si Muslim tetapi berpesan kepada si Nasrani agar melakukan kebaikan sambil berseru: “Jagalah janji Nabi kalian!” Kemudian ketika itu ‘Abdullah ibn Khabab sedang membawa mushaf di pundaknya bersama isterinya yang sdang hamil, berjalan menjumpai mereka. Lentas mereka menegur ‘Adullah, dengan mengatakan, “Sesungguhnya apa yang kamu bawa di pundakmu itu menyuruh kami untuk membunuhmu… Bagaimana menurut pendapatmu mengenai Abu Bakar dan ‘Umar?” tanya mereka. ‘Abdullah menjawab, “Aku memuji kedua beliau itu.” Mereka bertanya pula, “Bagaimana pendapatmu mengenai ‘Ali sebelum Tahkîm dan mengenai ‘Utsman dalam kekhalifahannya selama enam tahun?” ‘Abdullah menjawab, “Aku juga memuji kedua beliau itu” Lalu mereka masih bertanya, “Bagaimana pendapatmu mengenai Tahkîm?” Abdullah menjawab, “Sesungguhnya ‘Ali itu lebih tahu tentang Kitab Allah dari pada kalian semua, lebih taqwa dari kalian dalam beragama, dan beliau lebih mengena pandangannya daripada kalian semua.” Maka mereka mengatakan, “Kamu ini tidak mengikuti hidayah, tapi kamu hanya mengikuti mereka atas nama mereka.” Akhirnya mereka menyeret Abdullah ketepi sungai dan menyembelihnya di sana. Setelah itu mereka tawar menawar dengan orang laki-laki Nasrani tentangn pohon kurma. Orang Nasrani itu megatakan, “Ambil saja, pohon kurma itu milik kalian!” Mereka menjawab, “Demi Tuhan, kami tidak mau membawa kurma ini kecuali dengan harga.” Orang Nasrani itu lalu berkata dengan keheranan, “Ini benar-benar aneh, kalian berani membunuh orang seperti ‘Abdullah ibn Khabab, tetapi kalian tidak mau menerima kurma kami ini kecuali dengan harga”.

‘Ali kemudian mengirim utusan membujuk dan menyadarkan mereka. ‘Ali menawarkan kepada mereka untuk kembali bergabung dengannya bersama-sama menuju Syria, atau pulang ke kampung masig-masing. Sebagian memenuhi anjuran ‘Ali; ada yang bergabung kembali dan ada yang pulang kampung serta ada yang menyingkir ke daerah lain. Namun ada sekitar 1800 orang yang tetap membangkang. Mereka menyerang pasukan ‘Ali pada tanggal 9 Shafar 38 H yang dikenal dengan pertempuran Nahrawan yang mengenaskan itu. Hampir semua mereka mati terbunuh. Hanya delapan orang saja yang selamat.

Sejak peristiwa Nahrawan itu lah kelompok Khawarij yang terpencar di beberapa daerah semakin radikal dan kejam. ‘Ali sendiri kemudian menjadi korban dibunuh oleh ‘Abdurrahman ibn Muljam Al-Murdi, yang anggota keluarganya terbunuh di Nahrawan. Memang karena peristiwa Nahrawan ini, walaupun dari segi fisik ‘Ali dapat menumpas habis semua Khawarij yang berada di situ, telah mengakibatkan ‘Ali tidak pernah bisa berangkat ke Syria. Antara tahun 39 dan 40 H berulangkali orang-orang Khawarij membuat kegaduhan yang menguras ‘Ali untuk menghadapinya. Mu’awiyah pun, yang setelah ‘Ali wafat menjabat kedudukan Amirul Mu’minin dan terkenal hilm (lemah lembut dan ‘arif), selama pemerintahannya yang 20 tahun itu tidak mampu membujuk apalagi menumpas habis Khawarij.

Sekte-Sekte dalam Khawarij

1. Al- Muhakkimah
Al-Muhakkimah adalah golongan khawarij asli, bekas pengikut-pengikut Ali, yang kemudian memisahkan diri, dan kemudian menentang Ali. Menurut golongan ini, Ali dan Mu’awiyah serta kedua pengantarnya, yaitu Amr ibn ‘As dan Abu Musa Al-Asy’ari, serta semua orang yang telah menyetujui arbitrase, mereka itu telah melakukan perbuatan salah, karena menyimpang dari ajaran Islam,
perbuatan mereka itu membuat mereka menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya, sehingga orang yang melakukan dosa besar pun termasuk orang yang telah kafir. Berbuat zina adalah termasuk dosa besar, karena itu menurut golongan ini orang yang mengerjakan zina, dia telah menjadi orang kafir, dan dikeluarkan dari Islam. Demikian pula membunuh sesame muslim tanpa sebab adalah termasuk dosa besar. Karena itu menurut golongan ini perbuatan membunuh manusia itu membuat si pembunuhnya menjadi orang kafir, dan keluar dari Islam.Demikian pula dengan dosa-dosa besar lainnya.
2. Al-Azariqah
Golongan ini muncul setelah hancurnya golongan Al-Muhakkimah, dan golongan ini kemudian menjadi lebih besar dan lebih kuat dibandingkan dengan golongan Al-Muhakkimah sendiri. Daerah-daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan antara Iran dan Irak. Nama Al-Azariqah diambil dari nama seorang pemuka golongan ini, yaitu; Nafi’ ibn al-Azraq.Dalam kitab Al-Farqu baina al-firaq, al-Bagdadi menyebutkan bahwa jumlah pengikut al-Azariqah itu mencapai 20.000 orang. Sebagai khalifah yang pertama mereka memilih Nafi’ ibn al Azraq, dan kepadanya diberigelar; “Amir al-Mu’minin”. Nafi’ meninggal dunia dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M. Golongan ini mempunyai sikap yang lebih radikal di bandingkan dengan golongan al-Muhakkimah. Orang yang melakukan perbuatan dosa besar tidak lagi mereka sebut sebagai orang yang kafir, seperti dalam golongan al-Muhakkimah, tetapi mereka sebut sebagai orang yang ‘musyrik’ (politeist). Padalah di dalam Islam, musyrik itu merupakan dosa yang paling besar. Musyrik lebih besar dosanya daripada kafir. Menurut golongan ini, termasuk musyrik juga orang-orang Islam yang sepaham dengan ajaran-ajaran al-Azariqah. Bahkan orang-orang Islam yang sepaham dengan al-Azariqah, tetapi mereka tidak berhijrah kedalam lingkungan mereka, mereka juga dipandang sebagai orang yang musyrik. Dengan kata lain, orang-orang dari golongan al-Azariqah sendiri, apabila tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga dianggap sebagai orang musyrik. Selanjutnya al-Bagdadi menyebutkan, bahwa barang siapa yang datang ke daerah mereka, dan mengaku sebagai pengikut al-Azariqah, maka mereka tidak dapat diterima begitu saja, sebelum mereka lulus dalam menjalani suatu ujian, yaitu mau membunuh seorang yang ditawan. Kalau ia telah berhasil membunuh tawanan, maka ia diterima sebagai pengikut al-Azariqah yang baik, tetapi apabila ia tidak berhasil membunuh tawanan tersebut
maka ia sendirilah yang harus dihukum bunuh.
Keengganan membunuh tawanan itu dianggap sebagai bukti bahwa ia berdusta dan sebenarnya ia itu bukan penganut paham al-Azariqah. Bahkan anak-anak dan istriistri orang-orang yang demikian pun boleh ditawan, dijadikan budak ataupun dibunuh.
Prof. Dr. Harun Nasution menambahkan, bahwa golongan al-Azariqah ini mempunyai paham, hanya daerah mereka sajalah yang merupakan “Dar al Islam”, sed angkan daerah-daerah Islam lainnya merupakan “Dar al Herb”, atau “Dar al-Kufr”, karena itu wajib diperangi. Dan yang mereka pandang musyrik itu bukan hanya orang-orang yang telah dewasa, tetapi juga anak-anak mereka, mereka pandang musyrik.
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, golongan al-Azariqah ini jelas mempunyai paham yang sangat ekstrim, sebab menurut paham mereka, hanya mereka sajalah yang sebenarnya Islam. Orang Islam yang berdomisili di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi. Oleh karena itu kaum al-Azariqah, sebagaimana disebutkan oleh ibn al-Hazm, selalu mengadakan “istri’radh”, yaitu bertanya tentang pendapat atau keyakinan seseorang yang mereka jumpai. Kalau orang tersebut mengaku sebagai orang Islam, tetapi tidak termasuk dalam golongan al-Azariqah, maka mereka pun membunuhnya.
3. Al-Nadjat
Nama golongan ini diambil dari nama seorang pemuka dari golongan ini, yaitu; Najdah ibn “Amr al-Hanafi”. Ia berasal dari daerah Yamamah.Menurut Al-Bagdadi, pada mulanya golongan ini ingin menggabungkan diri dengan orang al-Azariqah, tetapi karena dalam kalangan al Azariqah ini timbul perpecahan, maka mereka tidak jadi menggabungkan diri dengan al-Azariqah. Perpecahan dalam kalangan al-Azariqah itu disebabkan oleh sebagian dari pengikut-pengikut Nafi’ibnal-Azraq, diantaranya ialah Abu Fudaik, Rasyidal-Tawil dan ‘Atiah al-Hanafi, mereka tidak dapat menyetujui paham bahwa pengikut-pengikut al-Azariqah yang tidak mau berhijrah ke daerah lingkungan mereka, pandang sebagai golongan musyrik. Mereka juga tidak setuju dengan paham dalam golongan al-Azariqah, bahwa anakanak dan istri-istri orang yang tak sepaham dengan golongan al-Azariqah itu boleh dibunuh. Setelah memisahkan diri dari Nafi’ Abu Fudaik dan kawan-kawannya pergi ke Yamamah. Disinilah mereka dapat membujuk Najdah bergabung dengan mereka dalam menentang Nafi’, sehinggah Najdah dan pengikutpengikutnya membatalkan rencana untuk hijrah ke daerah kekuasaan al-Azariqah. Selanjutnya Abu Fudaik dan pengikut-pengikutnya Najdah bersatu, dan memilih Najdah ibn ‘Amir al-Hanaf’ sebagai Imam mereka. Mereka tidak mau mengakui lagi Nafi ‘ibn al-Azraq sebagai Imam. Bahkan mereka telah menganggap Nafi’ telah menjadi kafir, dan orang-orang yang masih mengikutinya pun mereka pandang sebagai orang-orang yang kafir juga. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, dalam kalangan khawarij, golongan al-Nadjat inilah kelihatan yang pertama kali membawa paham taqiyah, yaitu paham bahwa seseorang boleh saja merahasiakan atau menyembunyikan keyakinannya atau keimanannya, demi untuk menjaga keamanan dirinya dari musuhnya. Taqiyah menurut pandangan mereka, bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi boleh juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata dan boleh melakukan perbuatan-perbuatan yang mungkin menunjukkan bahwa pada lahirnya ia bukan orang Islam,tetapi pada hakekatnya ia tetap penganut agama Islam. Di kemudian hari terjadilah perpecahan diantara pengikut-pengikut al-Najdat. Perpecahan itu disebabkan oleh sebagian pengikut al-Najdat itu tidak dapat menerima bahwa orang yang melakukan dosa kecil itu bisa menjadi dosa besar. Tetapi menurut al-Bagdadi, perpecahan di kalangan mereka itu terutama disebabkan oleh pembagian ghanimah (harta rampasan perang), dan sikap lunak yang dilakukan oleh Najdah terhadap Khalifah ‘Abd al-Malik ibn Marwandari dinasti Bani Umayah. Dalam masalah ghanimah, pernah mereka memperolah harta rampasan dalam peperangan, tetapi mereka tidak mengeluarkan seperlima lebih dulu, mereka langsung membaginya untuk orang-orang yang turut dalam peperangan. Hal ini diangapnya bertentangan dengan ketentuan dalam Al-Quran. Dan sikap lunak yang ditunjukkan oleh Najdah kepada Khalifah ‘Abd al-Malik ialah bahwa dalam serangan terhadap kota Madinah,mereka dapat menawan seorang anak perempuan. Khalifah ‘Abd al-Malik meminta kembali tawanan itu, ternyata permintaan itu dikabulkan oleh Najdah. Sikap seperti itu tentu saja tak dapat diterima oelh sebagian pengikut-pengikut mereka, karena Khalifah ‘Abd al-Malik adalah musuh mereka. Dalam perpecahan itu Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil, dan Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah. Atiah mengasingkan diri ke Sijistan di Iran, sedangkan Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka tangkap dan mereka potong lehernya. Al-Ajaridah Golongan ini dinamakan Al-Ajaridah, karena mereka itu adalah pengikut dari ‘Abd Karim ibn ‘Ajrad, yang menurut al-Syahrastani, termasuk salah seorang teman dari ‘Atiah al-Hanafi.Menurut al-Bagdadi, paham al-Ajaridah ini lebih lunak dibandingkan dengan golongan-golongan lain dalam kalangan khawarij. Menurut paham mereka, berhijrah bukanlah merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam sebagaimana diajarkan dalam paham al-Azariqah dan paham al-Nadjat. Bagi mereka berhijrah itu hanyalah merupakan kebajikan saja. Dengan demikian kaum Ajaridah bebas tinggal dimana saja di luar daerah kekuasaan mereka, dan mereka tidak dianggap sebagai orang kafir. Mengenai harta yang boleh dijadikan sebagai harta rampasan perang, menurut mereka, hanyalah harta musuh yang telah mati terbunuh. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam Al-Quran membawa cerita tentang cinta. Menurut mereka Al-Quran sebagai kitab suci, tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oelh karena itu mereka tidak mengakui surat Yusuf sebagai bagian dalam Al-Quran.
5. Al-Sufriyah
Golongan ini dinamakan demikian, karena pemimpin golongan ini ialah Ziad ibn al-Asfar. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, golongan Al-Sufriyah ini mempunyai paham yang agak ekstrim dibandingankan dengan yang lain. Diantara pendapat-pendapat mereka itu ialah :
a. Orang sufriyah yang tidak berhijrah tidak dianggap menjadi kafir.
b. Mereka tidak sependapat, bahwa anak-anak orang yang musyrik itu boleh dibunuh.
c. Selanjutnya tidak semua orang sufriyah sependapat bahwa orang yang melakukan dosa besar itu telah menjadi musyrik. Ada diantara mereka yang membagi dosa besar menjadi dua golongan, yaitu daosa yang diancam dengan hukum dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak diancam dengan hukum dunia, tetapi diancam dengan hukuman karena di akhirat, seperti dosa karena meninggalkan shalat atau puasa bulan Ramadhan. Orang yang berbuat dosa besar golongan pertama, tidak dipandang kafir, tetapi orang yang berbuat dosa golongan kedua itulah yang dipandang kafir. d. Daerah golongan Islam yang tidak sepaham dengan mereka, tidak dianggap sebagai dar alharb, yaitu daerah yang harus diperangi. Menurut mereka, daerah yang boleh diperangi itu hanya daerah ma’askar, yaitu markasmarkas pasukan musuh. Anak-anak dan wanita-wanit tidak boleh dibunuh atau dijadikan tawanan.
e. Menurut mereka kufur itu ada dua macam yaitu : kufr bi inkar al-ni’mah, yaitu kufur karena mengingkari rahmat Tuhan, dan kufr bin inkar al-rububiyah, yaitu kufur karena mengingkari adanya Tuhan. Karena itu menurut mereka, tidak selamanya sebutan kafir itu mesti diartikan keluar dari Islam.
f. Menurut mereka, taqiyah hanya dibolehkan dalam bentuk perkataan saja, dan tidak boleh dalam bentuk perbuatan. Tetapi sungguhpun demikian, untuk menjaga keamanan dirinya, seorang wanita Islam boleh kawin dengan lakilaki kafir, apabila dia berada di daerah bukan Islam.
6. Al-Ibadiyah
Nama golongan ini diambil dari nama seorang pemuka mereka yaitu Abdullah ibn Ibad. Pada mulanya dia adalah pengikut golongan al-Azariqah, tetapi pada tahun 686 M, ia memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, golongan al-Ibadiyah ini merupakan golongan yang paling moderat di bandingkan dengan golongan-golongan khawarij lainnya. Paham moderat mereka itu dapat dilihat dari ajaran-ajaran mereka sebagai berikut :
a. Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka, mereka itu bukan mukmin dan bukan pula musyrik, mereka itu adalah kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan.Syahadat mereka dapat diterima. Membunuh mereka haram hukumnya.
b. Daerah orang Islam yang tidak sepaham dengan golongan al-Ibadiyah, kecuali markas pemerintah, merupakan afar al-tawhid, yaitu
daerah orang yang meng-Esakan Tuhan, karena itu daerah seperti itu tidak boleh diperangi.Sedangkan daerah ma’askar pemerintah, bagi mereka merupakan afar al-kufr, karena itu harus diperangi.
c. Orang Islam yang berbuat dosa besar, mereka sebut oran muwahhid, yaitu orang yang meng-Esakan Tuhan, tetapi ia bukan orang yang mukmin. Dengan demikian orang Islam yang mengerjakan dosa besar, perbuatannya itu tidak membuatnya keluarnya dari Islam.
d. Harta yang boleh dijadikan ghanimah (harta rampasan), hanyalah kuda dan senjata saja. Emas dan perak harus dikembalikan kepada yang empunya. Tidak mengherankan kalau paham moderat seperti yang digambarkan diatas membuat Abdullah ibn Ibad tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam melawan Khalifah Bani Umayah. Bahkan sebaliknya ia mempunyai hubungan yang baik dengan Khalifah Abdul Malik ibn Marwan. Demikian pula Jabir ibn Zaid al-Azdi, pemimpin golongan al-Ibadiyah sesudah Ibn Ibad, mempunyai hubungan yang baik dengan al-Hajjah, yang pada waktu itu sedang giat-giatnya memerangi golongan khawarij yang ekstrim.
Oleh karena itu, kalau golongan khawarij lainnya telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah saja, maka golongan al-Ibadiah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Omman dan Arabia Selatan.}

Murji`ah

Makna Murjiah
Murji`ah, nisbat kepada irja` (إِرْجَاء) yang artinya mengakhirkan. Kelompok ini disebut dengan Murji`ah, dikarenakan dua hal:

1. Karena mereka mengakhirkan (tidak memasukkan, pen.) amalan ke dalam definisi keimanan. (Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah,karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 113)

2. Karena keyakinan mereka bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhirkan (membebaskan, pen.) adzab atas (pelaku, pen.) kemaksiatan. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, karya Al-Imam Ibnul Atsir, 2/206)
Sejarah Memunculannya
Murji`ah tergolong kelompok sesat yang tua umurnya. Ia muncul di akhir-akhir abad pertama Hijriyyah.Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Disebutkan dalam riwayat Abu Dawud Ath-Thayalisi dari Syu’bah dari Zubaid, ia berkata: ‘Ketika muncul kelompok Murji`ah, maka aku mendatangi Abu Wa`il dan aku tanyakan kepada beliau perihal mereka.’ Maka tampaklah dari sini bahwa pertanyaan tersebut berkaitan dengan aqidah mereka (Murji`ah), dan disampaikan (kepada Abu Wa`il) di masa kemunculannya. Sementara Abu Wa`il sendiri wafat pada tahun 99 H dan ada yang mengatakan pada tahun 82 H. Dari sini terbukti, bahwa bid’ah irja` tersebut sudah lama adanya.” (Fathul Bari 1/137)
Kemudian kelompok sesat Murji`ah ini tampil secara lebih demonstratif di negeri Kufah (Irak, pen.). Sehingga jadilah mereka sebagai rival (tandingan) bagi kelompok Khawarij dan Mu’tazilah, dengan pahamnya bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan.” (Lihat Majmu’ Fatawa 13/38)
Tokoh Utama
Di antara sekian nama yang diidentifikasi sebagai pelopor utamanya adalah:

1. Ghailan Ad-Dimasyqi, seorang gembong kelompok sesat Qadariyyah yang dibunuh pada tahun 105 H. (Lihat Al-Milal Wan Nihal, karya Asy-Syahrastani hal. 139)
2. Hammad bin Abu Sulaiman Al-Kufi. (Lihat Majmu’ Fatawa, 7/297 dan 311)
3. Salim Al-Afthas. (Lihat Kitabul Iman, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 179)

Asas-asas mazhab Murji’ah
a . Iman itu ialah dengan pembenaran (tasdiq) dan makrifah (mengenal Allah). Amal pula tidak memberi kesan kepada iman secaramutlak. Mereka mengatakan bahawa keimanan yang disertai dengan kemaksiatan tidak memberi mudarat, sebagaimana tidakmemberi manfaat kekufuran yang disertai dengan ketaatan.

b . Kemudian sebahagian mereka ada yang bersikap melampau. Mereka menganggap bahawa keimanan itu hanyalah dengan hati,sekalipun seseorang itu mengumumkan kekufurannya dengan lisan, menyembah berhala atau melazimi orang-orang Yahudi danNasrani; dan dia mati dalam keadaan begitu, maka tetap dianggap sebagai orang yang beriman. Terdapat kefasikan dankejahatan di dalam pandangan-pandangan mazhab ini yang membuka pintu ke arah segala kerosakan. pandangan-pandanganmazhab ini yang membuka pintu ke arah segala kerosakan. Mereka menjadikannya sebagai perantara dosa-dosa mereka.

Sekte-sekte Murji`ah
Murji`ah sendiri terpecah menjadi beberapa sekte, masing-masing memiliki bentuk kesesatan tersendiri. Di antara mereka, ada yang murni Murji`ah dan ada pula yang tidak. Adapun yang murni Murji`ah antara lain; Yunusiyyah (pengikut Yunus bin ‘Aun An-Numairi), ‘Ubaidiyyah (pengikut ‘Ubaid Al-Mukta`ib), Ghassaniyyah (pengikut Ghassan Al-Kufi), Tsaubaniyyah (pengikut Abu Tsauban Al-Murji’), Tumaniyyah (pengikut Abu Mu’adz At-Tumani), dan Shalihiyyah (pengikut Shalih bin Umar Ash-Shalihi). Sedangkan yang tidak murni Murji`ah, antara lain; Murji`ah Fuqaha (Murji`ah dari kalangan -sebagian- ahli fiqih Kufah, pengikut Hammad bin Abu Sulaiman), Murji`ah Qadariyyah (Murji`ah dari kalangan kelompok anti taqdir, pengikut Ghailan Ad-Dimasyqi), Murji`ah Jabriyyah (Murji`ah yang juga beraqidah Jabriyyah, pengikut Jahm bin Shafwan, gembong kelompok sesat Jahmiyyah), Murji`ah Khawarij (Mereka adalah sempalan kelompok Khawarij yang tampil beda dengan induk semangnya, yaitu dengan tidak memberikan sikap sedikitpun alias ber-tawaqquf terhadap pelaku dosa besar), Murji`ah Karramiyyah (Murji`ah dari pengikut Muhammad bin Karram, salah seorang gembong Musyabbihah1). (Untuk lebih rincinya, lihat Majmu’ Fatawa 7/543-550, Al-Milal Wan Nihal, hal. 140-145 dan Firaq Mu’ashirah, 2/761)
Kesesatan-kesesatan Kelompok Murji`ah
Secara garis besar, kesesatan Murji`ah dapat disimpulkan sebagai berikut:
Mereka semua sepakat bahwa amalan ibadah bukanlah bagian dari keimanan. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hakikat keimanan, dengan tiga versi:
- Iman: keyakinan dalam hati dan perkataan dengan lisan (versi Murji`ah Fuqaha).
- Iman: pengetahuan/ pembenaran dalam hati saja (versi Jahm bin Shafwan dan mayoritas Murji`ah).
- Iman: perkataan dengan lisan saja (versi Muhammad bin Karram).

Pandangan aliran murji’ah tentang setatus pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari definisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan sub sekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ekstrim dan moderat.
Harun nasution berpendapat bahwa sub sekte murji’ah yang ekstrim dan mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti telah menggeser atau merusak keimanannya. Bahkan keimanannya masih sempurna dimata Tuhan. Adapun murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosar yang dilakukannya. Masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga ia bebas dari siksa neraca.

Menurut sub sekte murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu.Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan. Sementara yang dimaksud murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya

Qadariyah
Madzhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H ( 689 M ). Ajaran-ajaran ini banyak persamaannya dengan Mu’tazilah. Tokoh
Ulama’ Qadariyah adalah Ma’bad Al-Juhari dan Ghailan Al-Dimasqi.Pokok aliran Qadariyah antara lain adalah manusia
mempunyai kemampuan untuk bertindak ( Qudrah ) dan memilih atau berkehendak. Kehadiran Qadariyah merupakan isyarat penentangan terhadap politik pemerintahan Bani Umayyah, aliran ini selalu mendapat tekanan dari pemerintah, namun paham Qadariyah tetap berkembang.Dalam perkembangannya, paham ini tertampung dalam madzhab mu’tazilah.
Manusia mempunyai iradat (kemampuan berkehendak atau memilih) dan qudrah (kemampuan untuk berbuat

Menurut paham ini Allah SWT membekali manusia sejak lahirnya dengan qudrat dan iradat, suatu kemampuan untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut

Jabariyah
Madzhab ini muncul bersamaan dengan kehadiran Qadariyah.Paham Qadariyah pada mulanya dipelopori oleh Ja’d bin Dirham.
Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan untuk mewujudkan perbuatannya dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih Menurut paham ini manusia tidak hanya bagai kan wayang yang digerakkan oleh dalang tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya

Menurut aliran ini, manusia tidak berkuasa atas perbuatannya yang menentukan perbuatan manusia itu adalah Tuhan, karena itu manusia tidak berdaya sama sekali untuk mewujudkan perbuatannya baik atau buruk .Diumpamakan manusia seperti wayang yang tidak berdaya, bagaimana dan kemana ia bergerak terserah dalam yang memainkan wayang itu. Dalang manusia adalah Tuhan, ini dianggap paham Jabariyah yang dianggap moderat, perbuatanmanusia tidak sepenuhnya ditentukan untuk Tuhan, tetapi manusia punya andil juga dalam dalam mewujudkanperbuatannya..

ALIRAN MUKTAZILAH DAN PEMIKIRANNYA

Pendahuluan

Muktazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil ‘aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Muktazilah didirikan oleh Wasil bin Atha’ pada tahun 100 H/718 M.

Munculnya aliran Muktazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir.

Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha’ yang ketika itu menjadi murid Hasan Al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir. Demikianlah pendapat Wasil bin Atha’ yang kemudian menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni al manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).

Setelah mengeluarkan pendapatnya ini, Wasil bin Atha’ pun akhirnya meninggalkan perguruan Hasan al Basri dan lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal aliran Muktazilah. Setelah Wasil bin Atha’ memisahkan diri, sang guru yakni Hasan al Basri berkata: ”I’tazala ‘anna Wasil (Wasil telah menjauh dari diri kita).”

Menurut Syahristani, dari kata i’tazala ‘anna itulah lahirnya istilah Muktazilah. Ada lagi yang berpendapat, Muktazilah memang berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu berarti memisahkan diri secara fisik. Muktazilah dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya, karena memang pendapat Muktazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya.

Selain nama Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl al-Tauhid (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-Adl (pendukung faham keadilan Tuhan), dan kelompok Qodariyah. Pihak lawan mereka menjuluki kelompok ini sebagai golongan free will dan free act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat.

Ketika pertama kali muncul, aliran Muktazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

Aliran Muktazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M). Kedudukan Muktazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma’mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan.
Dan, pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah

Lima Prinsip Ajaran Muktazilah

Secara umum, menurut al-Khayyath (w. 298 H), kelompok tersebut belum layak disebut Muktazilah jika tidak memenuhi lima prinsip pokok. Lima prinsip pokok tersebut, yang dikenal dengan ushul al-khamsah, adalah: tawhîd; al-‘adl (keadilan); al-wa‘d wa al-wa‘îd (janji dan ancaman); al-manzilah bayn al-manzilatayn (kedudukan di antara dua kedudukan); dan al-amr bi al-ma‘rûf wa al-nahy ‘an al-munkar (amar makruf dan nahi mungkar)

Secara detail, pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama : Tauhid:

Allah Swt. adalah Zat Yang Mahaesa, Qadîm (Mahadulu), sementara selain Dia adalah baru (muhdats). Dari sini maka zat dan sifat Allah harus sama-sama Qadîm, yakni hanya satu; tidak terpisah satu sama lain. Sebab, kalau tidak, pasti akan ada dua yang Qadîm, yaitu zat dan sifat. Padahal, yang Qadîm harus satu, dan itulah Allah.

Salah satu upaya gigih Muktazilah adalah mempertahankan pendapat mereka tentang keesaan Tuhan. Usaha ini dilakukan untuk menghempaskan pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa Tuhan sama dengan makhluk dan memiliki sifat-sifat semisalnya, seperti yang dilakukan Mujassimah, Ghanasiah, Yahudi dan Kristen. Menurut Muktazilah Tuhan adalah Esa, Ia tidak berbentuk, tidak pula sama dengan semua makhluk dan sifat-sifatnya. Tidak ada satupun yang menyerupainya, Ia qidam (dahulu) dan Maha Awwal. Sehingga Tuhan menurut mereka- tidak memiliki sifat-sifat. Karena keberadaan sifat menandakan kebaruan. Peniadaan akan adanya sifat-sifat Tuhan ini, menguras banyak perdebatan terutama dengan Asy’ariah yang muncul selanjutnya. Permasalahan ini adalah persoalan yang belum terpikirkan oleh generasi awal Islam. Bahkan para salaf menyatakan bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat azali seperti yang ada dalam al-Qur\’an, sebagaimana pemahaman Ibn Hanbal. Namun Ibn Hazm menolak kesan itu, menurutnya nama-nama Tuhan yang ada dalam al-Qur\’an tidak berarti bahw Tuhan memiliki sifat-sifat tertentu. Masih menurutnya, perbincangan seputar sifat adalah hasil rekayasa Muktazilah. Dan ditemukan bahwa orang pertama yang berbicara tentang sifat adalah al-Ja\’d bin Dirham. Kemudian diilhami oleh Washil dengan statemennya, siapa yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki sifat maka ia telah meyakini adanya dua tuhan.
Dari pemikiran sederhana Washil bin Atha\’ ini, berkembanglah konsep tauhid Muktazilah dengan ciri khasnya sendiri. Apalagi kecenderungan Muktazilah terhadap filsafat yang besar, semakin membuka ruang debat bagi banyak kalangan, terutama dalam lingkup sekte itu. Karena itulah, seperti yang dikatakan al-Ghazali dalam al-Munqidz bahwa Muktazilah telah terpengaruh oleh para fulsuf Yunani dalam masalah sifat ini. Menurut mereka Tuhan Maha Tahu, Maha Hidup, Maha Kuasa tetapi tidak dengan sifat hidup, tahu dan kuasa yang terpisah dari Dzat Tuhan. Karena menurut al-Khayyath, jika Tuhan memiliki sifat Maha Tahu, maka sifat itu -bisa jadi- baru dan mungkin juga qidam. Jika baru maka itu bertentangan dengan dzat Tuhan yang Qidam. Dan jika sifat itu qidam, maka akan terdapat dua qidam yaitu, Dzat Tuhan itu sendiri dan sifatnya. Padahal kesimpulan tentang adanya dua wujud yang qidam akan berujung pada eksistensi dua tuhan dan itu tidak mungkin. Al-Syarhestani juga menegasakan bahwa Muktazilah tidak mengingkari adanya sifat yang menyatu dengan mausufnya. Tetapi lebih kepada sifat yang berada di luar mausuf itu.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa, sebenarnya pembahasan soal dzat dan sifatnya serta hubungan antara kedua adalah wacana umum. Para filsuf seperti Ghilan al-Dimasyq, Agoustine, Thimas Aquinas- juga sibuk dalam perdebatan itu. Bahkan dalam sekte Muktazilah sendiripun terjadi persengketaan. Ada yang menolak secara mutlak seperti Washil bin ‘Atha, ada pula yang menerimanya sebagai satu kesatuan dengan dzat semisal al-Hudzail dan ada pula yang menerima dengan memposisikannya sebagai substansi yang tidak berwujud seperti Mu’ammar dan Abu Hasyim al-Jubbai\’. Dari konsep tauhid semacam ini muncul konsep-konsep baru seperti: al-Qur’an adalah makhluk, ru’yah, ta’wil lafadz wajah, tangan dll. Semuanya diperkuat Muktazilah- dikuatkan dengan logika-logika rasio, bahkan terkadang- dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah juga mereka gunakan. Hal ini mengingat munculnya pendatang baru yang gencar mengkritik pola fikir Muktazilah, yang tak lain adalah al-Asy’ari, seorang murid dari Abu Ali al-Jubbai yang juga ayahnya.

Kedua : Keadilan
Keadilan: seluruh perbuatan Allah adalah baik dan adil. Allah tidak akan melakukan perbuatan buruk dan zalim. Karena itulah, mereka menafikan qadar. Mereka menyatakan bahwa manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya (hurriyah al-iradah) dan dia akan bertanggung jawab di hadapan Allah kelak

Konsep inilah yang menyebabkan Muktazilah dikenal dengan sebutan Ahlu al-’Adli. Konsep keadilan Tuhan ini muncul ditengah perbincangan seputar qadar atau ketentuan Tuhan. Sebenarnya permasalahan ini sudah muncul sejak lama, bahkan sejak lahirnya manusia. Konsep yang membahas tentang hubungan Tuhan dan manusia ini Dalam Islam kita kenal Qadariah dengan kebebasannya.
Menurut Muktazilah, manusia adalah makhluk bebas. Ia dapat melakukan apa saja sesuai dengan kehendak dan kemampuannya. Mereka meyakini bahwa Tuhan tidak melakukan intervensi apapun kepada manusia. Semua kalangan Muktazilah hampir sepakat akan pendapat ini, kecuali Mu’ammar dan Jahidz. Keduanya meski menyakini bahwa manusia memiliki kebebasan, namun perbuatan yang dilakukan manusia merupakan rekayasa alam/natural, karena manusia hanya memiliki kemauan. Muktazilah juga meyakini bahwa Tuhan mengetahui segala perbuatan manusia dan semua kemampuan yang dimiliki manusia adalah dari Tuhan. Namun Muktazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua. Pertama adalah perbuatan yang ikhtiari dan yang kedua sebaliknya. Jika perbuatan itu ikhtiari/atas kehendak manusia maka, Tuhan akan memberikan kemampuan saat ia melakukannya. Dan jika perbuatan itu tanpa adanya kemauan dari manusia maka perbuatan itu disebut sebagai sebuah akibat saja.
Konsep keadilan ini sejatinya sangat berhubungan dengan tanggungjawab manusia. Artinya perbuatan baik atau buruk- yang dilakukan manusia harus dikembalikan kepada manusia pula. Oleh karena itu jika diyakini bahwa Tuhan yang menciptakan tingkah polah manusia maka, jika perbuatan itu jahat berarti Tuhan telah melakukan kejahatan. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Tuhan adalah sumber kebaikan, dan Ia tidak menciptakan apapun kecuali demi kebaikan. Jika demikian adanya, berarti konsep keadilan ini merupakan terusan dan konsep tauhid Muktazilah seperti yang telah kita kunyah sebelumnya. Ada tiga motivasi yang menghantarkan Muktazilah berpendapat demikian. (1) penafsiran terhadap taklif, janji dan ancaman. Menurut mereka jika Tuhan yang menciptkan perbuatan manusia maka, apakah fungsi pembebanan-pembebanan agama? Lalu apa fungsi janji dan ancaman Tuhan. Bagaimana Tuhan akan menghisab manusia, sedang ia tidak melakukan apa-apa. (2) diutusnya rasul. Jika Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia maka, apakah fungsi diutusnya seorang rasul. mensucikan Tuhan dari perbuatan keji. Bagaimana mungkin Tuhan menciptkan perbuatan manusia untuk kemudian Dia akan menyiksanya jika perbuatan itu keji. Tuhan adalah maha sempurna. Jika kita mengatakan bahwa Tuhan telah menciptakan perbuatan jahat yang dilakukan manusia maka berarti kita telah mengaggap Tuhan talah melakukan kejahatan itu. Dan itu adalah mustahil.

Ketiga : Janji dan ancaman:

Allah Maha Menepati janji dan ancaman-Nya. Janji berkaitan dengan kebaikan, seperti pahala dan surga, sedangkan ancaman berkaitan dengan keburukan, seperti dosa dan neraka.J anji dalam pengertian Muktazilah, sebagaimana yang dikatakan Qadhi Abd. Jabbar adalah setiap informasi yang mengandung kebaikan. Sedangkan ancaman adalah setiap informasi yang bersifat intimidatif. Menurut Qadhi, Tuhan telah berjanji kepada mereka yang ta\’at untuk memberikan pahala dan siksa bagi mereka yang maksiat. Tuhan pasti akan memenuhi janji dan ancamannya. Dia tidak khianat juga tidak dusta. Al-Syarhestani menyatakan bahwa menurut Muktazilah, setiap mu\’min yang meniggal dunia dalam keadaan ta\’at maka ia akan mendapat pahala. Sedang para pendosa yang tidak bertobat, maka ia akan mendapat siksa namun siksanya akan lebih ringan karena ia tidak tergolong kafir. Berbeda dengan Ahlussunnah, yang menyatakan bahwa kalam Tuhan adalah azali,Dia berjanji atas apa yang diperntahkanNya dan Dia telah memberi ancaman bersamaan dengan laranganNya. Siapa yang selamat maka ia akan mendapat pahala sebab janjiNya, dan siapa yang celaka akan mendapat siksa sesuai dengan ancamanNya. Selaras dengan pandangan Ahlussunnah ini, kuasa manusia benar-benar takluk pada kuasa Tuhan. Pahala dan siksa adalah dua hal yang telah ditentukan oleh Tuhan, akal tidak dapat menjangkau dan mengaksesnya. Adapun menurut Muktazilah, pahala dan siksa memiliki pertuatan yang kuat dengan perbuatan manusia. Yaitu perbuatan yang baik dan buruknya ditentukan oleh akal. Jadi akal menduduki posisi penting dalam metode berfikir Muktazilah. Menurut mereka segala sesuatu dapat diindera dengan akal. Dan keberadaan kitab suci ataupun rasul hanyalah sebagai legitimasi akan kebenaran-kebenaran yang ditetapkan akal. Oleh karena itu dengan kopnsep janji dan ancaman ini Muktazilah, berusaha memantapkan posisi akal sebagai pemandu sentral dalam semua dimensi kehidupan.
Keempat : Manzilah bayn manzilatayn (status di antara dua kedudukan):

Orang yang melakukan dosa besar tidak boleh disebut Mukmin atau kafir, tetapi fasik. Karena itu, status fasik merupakan kedudukan ketiga, di luar konteks iman dan kufur. Prinsip ini disinyalir banyak kalangan sebagai awal dari munculnya Muktazilah. Pada dasarnya konsep ini sangatlah sederhana. Bahwa pelaku dosa besar tidak tergolong kafir dan juga tidak mukmin. Mereka menduduki posisi ketiga yaitu fasiq. Konsep seperti ini, tergolong konsep baru dalam kancah pemikiran Islam. Tetapi bukan berarti Islam lepas dari konsep ini. Terbukti bahwa Muktazilah ?¢â‚¬â€œpada dasarnya- mencontek al-manzilah bayna al-manzilatain ini dari al-Qur\’an dan Sunnah, yang selalu menganjurkan untuk mengambil jalan tengah. Selain itu kemungkinan lain juga mengindikasikan akan adanya pengaruh Hasan al-Bashri dalam diri Washil, khususnya yang berhubungan dengan konsep ini. Penemuan-penemuan lain juga mengisyaratkan bahwa pengaruh Aristoteles juga dominan. Aristo memiliki konsep \’tengah\’ ini seperti yang ditulis Miskawaih dalam Tahdzib al-Akhlaq. Konsep serupa juga diimani oleh Platonis yang menyatakan bahwa di antara baik dan buruk terdapat posisi yang menengahinya.
Kelima : Amar makruf nahi mungkar:

Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban; masing-masing sesuai dengan kadar kemampuannya; bisa dengan senjata dan non-fisik. Jika dengan senjata maka di situlah hukum jihad berlaku

Pengaruh Muktazilah dalam Pemikiran Islam
Semakin tinggi anda terbang maka akan semakin sakit jika anda jatuh. Kata-kata tersebut mungkin tepat untuk menggambarkan Muktazilah dan perjalanan pemikirannya. Sebagai pembawa ide kebebasan berfikir yang tidak diimbangi oleh pemahaman yang pas oleh masyarakatnya, Muktazilah selalu mendapat tekanan. Julukan zindiq bahkan kafir bukan lagi hal yang asing. Hal inilah yang menyebabkan Muktazilah kehilangan popularitasnya, hingga benar-benar lenyap ditelan bumi. Namun demikian bukan berarti Muktazilah tidak mewariskan apa-apa bagi generasi selanjutnya. Paling tidak perjalanan pemikiran yang panjang, yang telah mereka lalui menyisakan pesan-pesan positif yang mungkin untuk kita ilhami secara wajar.
Seperti kita ketahui, Muktazilah hidup di tengah-tengah tradisi pemikiran Ahlussunnah. Muktazilah juga memiliki kepedulian yang tinggi untuk terus mempertahankan Islam. Namun pengaruh filsafat Yunani ?¢â‚¬â€œmungkin- menjadi ciri yang membedakan Muktazilah dengan sekte-sekte zamannya. Oleh karena itu ciri yang berbeda ini, seyogyanya tidak menggiring kita melupakan \’niat baik\’ Muktazilah ini. Kondisi sosial dan struktur masyarakat yang hiterogen, proses asimilasi budaya yang terus terjadi, telah mendorong Muktazilah untuk turut gandrung pada filsafat. Mempelajari filsafat -saat itu- merupakan sebuah keharusan, demikian H.S. Nyberg \’mendukung\’ Muktazilah. Sehingga beberapa sisi ekstrim dari pola pikir Muktazilah tidaklah menyebabkan kita terjebak dalam pengkafiran. Al-Ghazali, mengatakan bahwa pengkafiran adalah perbuatan yang melanggar etika kita. Karena benar dan salah dalam sebuah ijtihad adalah hal yang wajar.
Para pemikir yang hidup pasca Muktazilah sendiri tidak sejajar dalam melihat sekte ini. Hanabilah, Dzahiriah dan al-Baghdadi (Asy\’ariah) benar-benar telah mengambil jarak dengan aliran ini. Berbeda dengan al-Asy\’ari, al-Ghazali, al-Syarhestani yang memberikan apresiasi kepada Muktazilah. Bahkan al-Maqdasi menyatakan bahwa Muktazilah adalah sekte yang ridak keluar dari bingkai Ahlussunnah. Seperti yang kita ketahui bahwa pergaulan Muktazilah dengan filsafat telah merubah pola pandang Muktazilah, terutama tentang posisi akal dan wahyu. Akal yang sebelumnya hanya berperan sebagai pendukung nash, maka sejak pergaulan itu akal telah \’menginjak\’ kepala nash. Akal adalah segalanya dan nash hanyalah nomor dua. Nah, dari pergulatan panjang yang dialami Muktazilah ini, mulai dari lahir, jaya hingga runtuhnya ternyata, pemikiran-pemikiran barupun muncul. Yang menarik gerakan-gerakan baru itu memiliki satu semangat yang sama yaitu, melakukan kompromi-kompromi pemikiran antara pola Ahlussunnah dan Muktazilah. Itulah yang dilakukan oleh al-Asy\’ari di Bashrah, al-Thahawi di Mesir dan al-Maturidi di Samarkand. Disamping itu lahir pula gerakan-gerakan skripturalis sebagai penolakan atas Muktazilah yang diwakili oleh dua aliran besar. Yang pertama adalah Karramiah, pengikut Muhammad bin Karram al-Sajestani (356 H.) dan yang kedua al-Dzahiriah, sebuah mazdhab fikih yang didirikan di Iraq oleh Daud bin Ali al-Asfihani (370 H.).
Yang paling menarik dari gerakan-gerakan di atas adalah al-Asy\’ari. Al-Asy\’ari berusaha membangun kembali reruntuhan pemikiran Muktazilah dengan kemasan yang lebih halus, yang dapat diterima oleh khalayak. Pola interaksi antara akal dan wahyu di tangan al-Asy\’ari berusaha dikembalikan pada posisi yang seimbang, dengan tetap menjadikan wahyu sebagai dasar. Wahyu adalah benar dan hanya akal yang dapat mengendus kebenaran itu, demikian al-Ghazali menegaskan. Selain itu al-Asy\’ari juga berusaha untuk meneruskan estafet pemikiran Muktazilah dengan mencoba mempertemukan agama dan filsafat. Al-Asy\’ari berupaya untuk membersihkan dampak negatif dari filsafat dan tetap mempertahankan nilai positifnya. Ilmu kalam seperti definisi al-Ghazali adalah usaha untuk mempertahankan nilai-nilai akidah agama dengan menggunakan hujjah akal yang kuat. Itu artinya al-Asy\’ari dalam menyusun madzhab barunya benar-benar tidak dapat lepas dari pengaruh Muktazilah. Ibn al-Jauzi mengatakan bahwa al-Asy\’ari tetap seorang Muktazilah. Itulah sebabnya mengapa kelompok Salafi menolak pemikiran al-Asy\’ari. Hal senada juga ditegaskan Ibn Taimiah sebagai tokoh salafi. Menurutnya nuansa al-Jubba\’i masih begitu kental dal sosok al-Asy\’ari. Bahkan dalam permasalahan metafisik dan akhlaq al-Asy\’ari juga terpengaruh oleh Muktazilah, Qadariah dan Jahmiah. Oleh karena itu, tidak lengkap kiranya jika kita tidak menyertakan dugaan-dugaan itu dengan bentuk konkrit.
Dalam beberapa hal seperti permasalahan sifat-sifat, ayat-ayat tasyhbih dan tajsim, al-Kasb hingga permasalah kalam Tuhan, Asyari\’ah benar-benar terpengaruh Muktazilah. Asy\’ariah selalu mengambil posisi tengah antara ekstrim kanan (salaf) dan ekstrim kiri (Muktazilah). Sehingga penulis sepakat dengan Dz. Zuhdi H. Jarullah yang menemukan indikasi bahwa konsep al-manzilah bayna al-manzilatain juga menjadi inspirasi tersendiri bagi Asy’ariah. Bahwa diantara hitam dan putim masih ada abu-abu dan diantara biru dan hijau masih ada kelabu.
Oleh karena itu, Muktazilah layak untuk diperhatikan pada masa modern ini. Di hadapan arus budaya dan pemikiran Barat yang terus menerpa umat Islam, konsep tengah merupakan solusi. Nilai-nilai positif harus kita lihat secara cermat untuk membimbing kita keluar dari pengaruh nilai-nilai negatif. Sebagaimana Muktazilah yang hidup di tengah budaya Yunani dengan filsafatnya, Kristen dengan teologinya, Persia dengan Zoroasternya. Dengan tetap memegang prinsip-prinsip luhur agama serta niat yang tulus dalam membela agama, akhirnya Muktazilah berhasil menanamkan kepercayaan dalam diri umat Islam, bahwa Islam adalah agama yang terbuka, egaliter. Bukan hanya itu, pergaulan yang sehat dengan budaya-budaya lain tersebut juga telah melahirkan budaya kritis serta bebas. Bukankah keberhasilan Eropa adalah berkat sikap kritis atas orotitas gereja?. Maka Islam sebagai risalah ilahiah, sudah saatnya untuk membuktikan pada dunia bahwa ia benar-benar sebuah rahmat bagi alam.

Referensi

A, Hanafi, teologi islam

Abdu Rozak- Rosihan Anwar, Ilmu KAlam

Abu Bakar Jabir al Jazairi, Aqidah Al Mukmin

Abu Hanifah, Al Fiqh Al Akbar

Abu Hasan Isma’il Al Asy’ary, Al Ibanah An Nusul ad Diniyah

Abu Hasan Isma’il Al Asy’ary, Al Luma Arra’d ‘ala ahluz zaiq wa al bida

Abu Hasan Isma’il Al Asy’ary, Maqalatu islamiyin wa ikhtilaful mushallin

Abu Mansur Al Maturid, Al Kitab At Tauhid

Adeng Muchtar Ghazali,Perkembangan Ilmu Kalam dari klasik hingga modern

Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam

Ahmad Amin, Duha Al Islam

Ahmad Amin, Fajr Al Islam

Al-Syahristani, Al-Milal Wa al-Nihal

M.M. Syarif, (Ed), Aliran-Aliran Filsafat Islam, Jakarta, Nuansa Cendekia, 2004

Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta, UI Pres, 2002

Al-Ghazaly, al-Munqidz min al-dlalal

Nasution, Harun, Teologi Islam
Share:

0 komentar:

Post a Comment

Visitors